Lawatan Sejarah dam
gelar Budaya Melayu Kabupaten Lingga merupakan acara yang di prakarsai
oleh Pemereintah Kabuptan Lingga melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
. Kegiatan ini bermula dari acara penyambutan di Pelabuhan Tanjung
Buton.
Sambutan
“tebar beras kunyit’” dan sajian kompang mengawali sambutan masayarakat
negeri itu kepada seluruh tetamu yang datang yang baru saja
menginjakkan kaki nya di Bunda Tanah Melayu iringian para tetamu pun di
sambut dengan sebuah atraksi silat yang menggambarkan kemeriahan dan
rasa senang bagi masyarakat setempat atas kunjungan para tetamu
Para
tetamu di ajak menuju sebuah bangunan besar yang disana sudah menunggu
Bupati dan para pejabat daerah Kabupaten lingga yang dengan hangat
menyalami satu persatu tetamu yang datang. Sugguhan makanan ringan
menemani para tetamu sambil mendengarkan Bupati Lingga H. Daria
menyanyikan lagu Lingga ...... yang merupakan buah hasil karya beliau
dibantu dengan beberapa seniman dan penyanyi lokal dari Kabupaten Lingga
Selanjutnya
hidangan berupa kue kue lokal dengan minuman khas lokal menjadi
santapan yang nikmat yang mempu menghilangkan rasa penat tetamu yang
sudah menempuh perjalanan panjang dari daerah asalnya. Tetamu yang hadir
ada yang dari Singapura, Malaysia, Brunai, Pekan Baru, Selat Panjang,
Jakarta, tanjungpinang dan Kalimantan.
Setelah
beristirahat sejenakbersihkan diri di Hotel yang sudah dipersiapkan
oleh panitia peserta kemudian di suguhkan dengan hidangan makan malam
dengan menu yang khas dengan cita rasa Melayu. Berbagai masakan khas di
sajikan di meja prasmanan yang telah tersusun rapi untuk di santap yang
mampu meberikan nuansa kembali ke kampung begitulah beberapa peserta
terkesan .
Seorang
pembawa acara tampil diatas panggung dengan logat Melayu yang kental
sang pembawa acara mengundang semua tetamu untuk mengambil tempat di
panggung yang sudah dipersiapkan, humor dan pantun yang sangat menghibur
di sajikan oleh sang pembawa acara yang membuat acara itu menjadi
semarak
Dalam
Laporannya Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Bapak Djunaidi Ajam
menyampaikan bahwa kegiatan ini merupakan semangat Kabupaten Lingga
untuk menjadi “Bunda Tanah Melayu”. Acara Lawatan Sejarah dan Gelar
Budaya Melayu Kabupaten Lingga 2011 di ikuti oleh peserta dari
Singapura, Malaysia, Brunai Darussalam, Pekan Baru, Kalimantan dan
Tanjungpinang.
Bupati Lingga Bapak H. Daria dalam sambutan sekapur sirihnya menyampaikan Pemerintah
Kabupaten Lingga senantiasa berupaya dan bekerja keras agar prediket
Lingga sebagai Bunda Tanah Melayu tersebut semakin kuat-kawi dan diakui
secara luas. Seminar bersempena helat bertajuk “Lawatan Sejarah dan
Gelar Budaya” yang dilaksanakan pada tahun 2011 ini diharapkan menjadi
peristiwa penting dalam upaya menegaskan dan mengukuhkan Lingga sebagai
Bunda Tanah Melayu.
Sajian
kesenian menjadi hiburan yang menambah semaraknya acara tersebut di
tambah lagi sajian kesenian “Joget Dangkong” yang di bandu oleh seorang
“Bapok” yang kocak dengan lagu dan goyangnya membuat para tetamu yang
hadir terpingkal pingkal ketawa. Tanpa terasa malam semakin larut dan
akhirnya acara pembukaan pun telah selesai yang waktu nya untuk
beristirahat
Pagi itu
cuaca agak mendung suasana alam yang segar dengan pemandangan gunung
Daik yang konon bercabang tiga namun telah patah satu yang sering
dikenang orang melalui pantun
Pulau pandan jauh ke tengah
Gunung Daik Bercabang tiga
Hancur badan di kandung tanah
Budi Baik di kenang jua
Begitulah
orang orang mengenang gunung Daik ini yang menurut legenda setempat
bahwa Pulau Pandan itu merupakan patahkan cabang tiga gunung tersebut.
Keindahan alam dengan bentangan bukit yang masih hijau dan udara pagi
yang segar menjadi hidangan mata yang memberikan ketenangan hati. Di
sebuah kedai kopi di pinggiran sungai Lingga menjadi tempat kami untuk
menikmati sarapan pagi secangkit kopi dan “kwe tiaw” goreng menjadi
hidangan yang kami santap pagi itu. Kami yang tergabung dalam satu
rombongan “Media dan Travel Agent Fam Trip” memang terpisah dari jadwal
yang utama bagi para sejarahwan, seniman, pelajar dan tokoh tokoh
masyarakat dimana khusus bagi mereka jadwal pagi itu akan mengikuti
seminar di Balairung Seri yang lokasinya bersebelahan dengan lokasi
situs Istana Damnah, sedangkan rombongan kami akan mengunjungi objek
wisata desa Resun.
Matahari sudah
mulai tegak di atas kepala sehingga kami pun menuju ke kawasan Istana
Damnah sebab di lokasi ini kami dijadwalkan untuk makan siang. Sajian
makan siang pun sudah dipersiapkan dengan gaya melayu kuno yaitu “Makan
Berkas” yang hal ini sudah jarang di lakukan orang. Sajian makan yang
terhidang secara “lesehan” dengan jumlah sajian makan untuk jumlah 5
(lima) orang di gelar di lantai yang beralaskan karpet dan permadani,
sekitar 50 berkas atau untuk kapasitas 250 orang makan siang telah
tersaji di replika Istana Damnah dengan hiasan kain di dinding dengan
warna khas Melayu yaitu Kuning, Merah dan Hijau. Makan siang pun
terselesaikan dengan baik dan nikmat yang memberikan kesan tersendiri
begitu indahnya adab yang diajarkan oleh para leluhur leluhur yang
terdahulu, dalam makan pun ada adab nya.
Program
Fam Trip pun di lanjutkan dengan mengunjungi situs Istana Damnah yang
lokasinya hanya 50 Meter dari lokasi seminar dilokasi ini masih terlihat
pondasi bekas bangunan istana damnah yang pada zamannya sangat memiliki
peran penting yang sering digunakan Sultan untuk pertemuan dan acara
acara kerajaan. Namun kondisi saat ini yang bisa terlihat hanya pondasi
dan bekas tangga depan istana karena bangunan atasnya dahulu terbuat
dari papan dan kayu. Di lokasi ini seorang pramuwisata lokal menjelaskan
sejarah dan cerita tentang kemegahan dan peran bangunan itu. Perjalanan
kami lanjutkan menuju pelabuhan Tanjung Buton untuk menuju ke Pulau
Mepar sebuah pulau yang saat ini sedang di gesa dan di kembangkan oleh
Pemerintah Kabupaten Lingga sebagai Desa Wisata. Perjalanan menuju desa
ini di tempuh dengan menggunakan “pompong” sebuah perahu kayu dengan
mesin dengan jarah tempuh lebih kurang hanya 8 menit saja dari Pelabuhan
Tanjung Buton di Pulau Lingga. Sesampainya kami disana kebanggaan kami
rasa kan karena di sambut seperti paduka raja atau bangsawan karena di
pelabuhan itu sudah berdiri 14 orang ibu ibu dengan senyuman dan
semangat yang tinggi menabuh kompang yang dengan suka cita menyambut
rombongan yang datang ke negerinya.
Sekumpulan
anak anak dengan senyuman dan keceriaan terpancar di wajah mereka turut
berbaris di sisi kiri dan kanan jalan menuju desa menyambut kedaatangan
para tetamu. Suara gemuruh kompng yang terus menerus mengiringi
perjalanan bersaut sautan dan atraksi silat yang diiringi suara gendang
dan gong pun menghadang perjalan kami untuk menunjukan bunga bunga silat
yang di miliki oleh seorang pemuda yang gagah dan berani. Dengan gerak
dan langkah yang lembut namun kokoh dipertunjukan kepada tetamu sebagai
rasa sukacita dan menunjukan kepada tetamu rasa aman dan nyaman
begitulah yang dirasakan oleh tetamu yang datang.
Mengunjungi
makam dan benteng di pulau ini menjadi beberapa aktifitas yang bisa di
lakukan, di sisi lain ada atraksi yang menarik yaitu melihat prosesi
“ikan tamban salai” yaitu menjadi kan ikan salai dengan cara memanggang
dan mengasapi ikan ikan tamban.
Tari Ambung
itulah satu atraksi yang menarik di desa ini karena para pemainnya
seolah olah tersugesti sehingga di luar kendalinya keranjang yang di
pegang seolah olah bergerak tanpa di gerakkan oleh si pemain tari ambung
tersebut. Permainan ini di awali dari pengasapan keranjang dengan
sebuah dupa dan kemenyan yang di bakar dengan arang. Diatas keranjang
tersebut terdapat 2 buah kayu lesung. Permainan ini biasanya dilakukan
masayrakat pada saat malam purnama dan dijadikan sebagai permainan untuk
mengisi waktu waktu luant untuk menghibur dan menjaga keutuhan
silaturahmi masyarakat setempat.
Keramanhan
masyarakat sangat terasa sekali di desa ini dan keramahan itu kami
rasakan dengan sajian beberapa makanan ringan yang sudah dipersiapkan
disebuah panggung dengan minuman yang terbuat dari timun. Buah pisang,
pepaya dan sauh menjadi hidangan yang menyegarkan ditambah lagi ikan
tamban salai yang sebelumnya kami saksikan proses pengasapannya telah
tersaji untuk santapan para tetamu.
Permainan
gasing ini juga memiliki aturan dimana permainan tradisional bagi
masyarakat melayu ini memiliki peraturan dan di mainkan secara
berkelompok yang terdiri dari 5 (lima) orang. Konon katanya zaman dahulu
permainan ini menggunakan ilmu ilmu kedikjayaan dalam permainan Gasing
yang sampai sampai gasing yang selalunya terbuat dari kayu pilihan yang
memiliki kekuatan pun bisa terbelah dan pecah ..sungguh menakjubkan.
Kesabaran dan ketelitian dituntut untuk permainan ini bagi yang tidak
terlatih gasing bisa bisa tidak berputar dan memungkinkan mengenaik
orang lain dan berakibat luka.
Malam
pun tiba disaat Gerhana Bulan tepatnya tanggal 10 Desember 2011 di
Lapangan Hang Tuah Kota Daik menjadi saksi pembacaah Warkah atau
pendeklarasian “ Lingga – Bunda Tanah Melayu” dihadapan ratusan orang
yang memadati lapangan tersebut. Semangat yang kuat dengan rasa tanggung
jawab yang tinggi di harapkan segenap elemen masyarakat dan pemerintah
di Kabupaten ini untuk menyandang predikat Bunda Tanah Melayu Benteng
Jati diri anak Negeri.
Menurut
saya bahwa Lingga memiliki berbagai alasan yang kuat dan mendasar untuk
terus menjadikan Negeri ini sebagai Bunda tanah Melayu, Beberapa hal
hal yang saya lihat dan rasakan selama mengikuti pLawatan Sejarah dan
Gelar Budaya Melayu tersebut yang mampu mendukung predikat Bunda Tanah
Melayu antara lain :
- Disetiap kamar Hotel tersedia sejadah
- Rumah rumah panggung masyarakat masih di hiasi dengan ukiran melayu
- Tutur sapa, dan adab masayrakat nya masih kental dengan tradisi melayu yang menerima tetamu (Hospitality)
- Logat dan gaya bahasa
Tahniah dan Sabas kepada Masyarakat dan Pemerintah Kabupaten Lingga semoga mampu menjadikan negeri nya sebagai benteng Jati diri masyarakat melayu yang bertamadun yang senantiasa kokoh akan tantangan globalisasi yang sedang menghadang .......................
No comments:
Post a Comment